Laman

Label

Kamis, 09 Desember 2010

Nyanyi hari


Mengemis kasih pada gerimis yang manis
Aku menatapMu dalam satu garis
Biarkan hati yang mengukir suasana magis
Karena cintaku bersemi dipenghujung hari kamis

Menunggu rindu pada suatu pagi kelabu
Aku mendengarMu dalam satu lagu
Biarkanlagu yang bersenandung merdu
Karena cintaku bersemi dipenghujung hari rabu

Meminta rasa pada suatu senja yang ceria
Aku menyentuhmMu dalam satu kata
Biarkan hati yang merangkai makna
karena cintaku bersemi dipenghujung hari selasa

engkau adalah angin dihari senin
kekasihku dihari minggu
pelindungku dihari sabtu
tempat bersyukur nikmat dihari jumat
tergugu… kasihku
tak ada satupun waktu yang kulewatkan tanpaMu

Senin, 27 September 2010

catatan kecil dari barang lompo


Aku berkawan dengan gelombang…
Membaca tanda dan wahyu alam yang tersurat dalam riaknya yang gemulai
Aku berkawan dengan gerombolan ikan…
Mencari arti dari kesunyiannya dalam menetapi kesabaran



Praktikum lapang perdana, mentari yang ramah mengiringi kepergian kami pagi menjelang siang ini. Sekilas aku membaca nama kapal yang akan membawaku menyebrang dari Makassar menuju pulau barang lompo tujuan kami
Novitasari itu nama kapal yang baru saja merapat di dermaga dan menumpahkan puluhan wajah dengan beragam ekspresi, membuatku semakin tak sabaran menunggu perjalanan pertamaku menuju pulau.
Setengah jam berikutnya kami telah terapung di atas birunya laut dalam terpaan angin paling syahdu yang menyapa wajahku, gelombang mengayunkan kapal kami dengan irama yang konstan memberi kesempatan bagi kantuk untuk datang menghampiri. Tapi aku tak akan tidur, tak boleh ada sedikitpun yang terlewatkan dalam praktikum kali ini.
Lebih kurang 45 menit kami sampai di pulau yang dalam bayanganku adalah pulau kosong tak berpenghuni, ternyata aku keliru pulau ini di tempati oleh penduduk yang cukup padat. Meskipun tak sesuai bayanganku pulau ini tetap saja menarik bagiku, pasir putih yang menenggelamkan mata kaki dan air lautnya yang biru jernih benar-benar telah memikat hatiku. Hingga waktu dzuhur aku lupa tujuanku menuju pulau ini, baru setelah para asisten berteriak memanggil agar kami bergegas mengenakan pelampung dan berbaris sesuai kelompok aku baru sadar kalau saat ini ada target laporan yang harus dikerjakaan.
5 jam kami berendam dalam laut, mencari spesies avertebrata yang sebelumnya telah tuntas kami identifikasi di laboratorium fakultas, selama selang waktu itu aku benar-benar tak henti bertasbih, megamati dunia tanpa suara alam bawah laut yang begitu menakjubkan, penuh warna dan misteri yang tak pasti di balik riak dan gerakan pasir di bawah telapak kaki.
Perairan barang lompo yang di dominasi oleh bulu babi ini membuat hampir semua dari kami terkena tusukan durinya dan beberapa dosen menjadikan hal ini sebagai lelucon bahwa katanya belum resmi menjadi anak perikanan kalau belum berkenalan dengan bulu babi.
Rasa letih, perih dan menggigil yang kami dapat di lapangan terobati oleh indahnya alam bawah laut yang kami amati, namun perjuangan ternyata belum selesai, usai shalat isya tugas kami yang sebenarnya baru di mulai mengisi modul dan membuat jurnal laporan dalam waktu tiga sampai empat jam mengganti tidur malam kami hingga adzan shubuh berkumandang.
Praktikum kali ini avertebrata air dan ekologi perairan benar-benar menyisakan kenangan tersendiri dalam ingatanku, berburu bintang laut, menelusuri jejak cacing, berjinjit diantara sekumpulan bulu babi, bermain dengan sponge bob sampai menghitung helaian lamun semua menjadi hal baru dalam hidupku. Hal baru yang kemudian menelisik rasa ingin tahu dan jiwa petualanganku untuk lebih dalam mempelajari bidang ilmuku dan lebih dalam lagi menyelami laut indonesiaku.
Memetik bulir tasbih dari semua jenis keindahan yang tak kan Nampak hanya dengan sekilas mata memandang. Berharap menemukan sebentuk kesadaran akan ke Mahaan Nya yang menjadikan aku bangga pada tempatku kini, telah kutemukan rencana terbesarMu hingga aku dengan lantang dapat berkata “proud to be fisheries”


Makassar, 02 Mei 2010
Memory @barang lompo 24 April 2010

Sabtu, 25 September 2010

Pada hujan berbau debu


memahami hatiku pada hujan berbau debu...
ada karat yang telah mengurat
menyesak dalam sarat yang tersurat
rupanya ia tak lagi sebentuk hati yang wangi
bukan pula sebentuk hati yang suci...

terlalu lama memendam dendam yang entah untuk apa???
pada siapa???
sebab apa???

lelah bertanya pada angin yang mengkhianati arah kembali
lelah bertanya pada ombak yang mengkhianati tempat menepi hingga ia merupa tsunami
lelah bertanya pada penguasa yang mengkhianati rakyatnya
lelah bertanya pada manusia yang tak mau menerima kodratnya


tak sudi bertanya padamu yang mengkhianatiku dengan sejuta peluru...





(suatu hari saat mengenang dia...)

Senin, 14 Juni 2010

sajak anak negeri







Kami… yang katanya anak negeri
Hanya dapat berdiri di sudut paling sunyi negeri ini
Bukan kami memungkiri, bukan kami hendak lari, bukan kami tak tahu diri
Tapi bukankah tempat paling tinggi hanya untuk mereka yang bersafari?
Kami… yang katanya anak negeri
Kenyang diajari untuk menjaga bumi pertiwi
Bukan kami memungkiri, bukan kami hendak lari, bukan kami tak tahu diri
Tapi bukankah pertiwi telah ada yang mengurusi hingga yang mengurasi
Kami… yang katanya anak negeri
Dipaksa untuk mengerti janji—janji yang kian tak pasti
Tanpa pertanyaan berarti, tanpa boleh mengkritisi karena hak mengkritisi hanya untuk para pemberi petisi, dan hanya untuk para politisi
Kami… yang katanya anak negeri
Lelah dibujuk untuk memuja dan memuji pada para tirani
Di…h rasanya aku mulai geli hingga merasa ngeri
Arrghh… berhentilah menyebut kami anak negeri
Jika suara kami tak lagi kau anggap berarti
Jika nyanyi kami tak lagi kau hayati
Jika aksi kami kau pandang sebagai tragedi
Dengar…
Kami tak minta di lahirkan di negeri ini
Kami tak minta diberi hak atas tanah ini
Tapi
kami tak akan pernah berlari
kami… yang sepenuh janji mengaku anak negeri kini telah berdiri
untuk menjadi wali dari semua perkara yang harus diadili
kami kini yang akan membungkam semua janji
merebut kembali hak hak mereka yang terdzalimi
bahkan jika nyawa kami yang kau ingini
kami tak akan lagi pernah berhenti
demi bangsa yang merdeka
demi garuda yang menua
demi sangsaka yang merupa
demi bung karno dan bung hatta
dan demi sebuah sajak dari kami anak negeri

yume dee
Makassar 11 mei 2010 08.55 pm

Senin, 07 Juni 2010

tajuk edisi 1 : Bukan Renovasi biasa

BUKAN RENOVASI BIASA
Renovasi yang digalakan unhas hampir disemua fakultas dan jurusan, telah sampai dijurusan perikanan. Namun anehnya proyek renovasi yang sudah dimulai sejak bulan Desember 2009 ini masih belum juga selesai dilaksanakan sampai bulan Mei 2010, artinya renovasi atap jurusan telah berlangsung selama kurang lebih 5 bulan. Sebagai orang awam melihat jurusan perikanan yang tidak seberapa luasnya pekerjaan itu seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu dua sampai tiga bulan saja, akan tetapi lain ceritanya jikalau selama waktu renovasi pengerjaan dilakukan tanpa koordinasi yang baik antara pekerja, kontraktor, jurusan dan pihak unhas apalagi dengan adanya kejadian terendamnya ruangan program studi dilantai dua jurusan perikanan bulan…… kemarin akibat pembongkaran atap pada hari libur dan musim hujan telah mengakibatkan banyak kerusakan, dari mulai lemari-lemari kayu yang baru satu bulan di gunakkan, beberapa unit komputer, satu buah freezer, satu set sofa yang sama sekali belum di gunakan, bahkan berkas-berkas penting program studi yang tidak sempat di selamatkan sukses menjadi korban kecerobohan renovasi yang seharusnya membawa perbaikan malah mengakibatkan lebih banyak kerusakan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pihak unhas sepenuhnya bertanggung jawab atas proyek renovasi sama sekali tidak melakukan pengontrolan yang baik terhadap kontraktor yang dipilih sehingga para kontraktor dapat dengan mudah membuat rencana asal-asalan saja yang penting selesai, atas proyek ini toh tidak juga terlalu diawasi. Buntutnya pihak jurusan yang kena getah dari ulah proyek tak bertanggung jawab ini, bagaimana tidak kalau akhirnya pengaduan pada rektorat tidak ditanggapi, tambahan pula kontraktor hanya menyanggupi untuk memperbaiki barang yang rusak bukan mengganti. Lagi pula kalaupun mereka berniat mengganti beberapa unit komputer yang rusak tetap saja data dan arsip yang hilang tidak dapat diadakan kembali, kejadian ini tidak dapat dipandang enteng. Tapi bukan berarti jurusan tidak ikut andil dalam kejadian ini, jika saja jurusan lebih tegas mengarahkan renovasi ini tentu tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena semua kebijakan dari atas apapun bentuknya dan bagaimanapun perencanaan dari kontraktor pihak jurusan harus dapat menyampaikan dengan jelas bahwa kita sendiri yang tahu kondisi dari jurusan. Pada akhirnya lingkaran saling lepas tanggung jawab pun tidak dapat terelakkan, pekerja merasa tidak bersalah karena mendapat perintah kontraktor, kontraktor merasa tidak bersalah karena diberi kewenangan oleh unhas, unhas juga merasa tidak bersalah karena niat renovasi itu adalah suatu niat baik, jurusan lebih merasa tidak bersalah karena tidak mendapat surat tugas pemberian tanggung jawab atas proyek ini.
Kalu sudah begini renovasi yang biasa pun menjadi luar biasa, luarbiasa makan waktu, luarbiasa makan biaya, luar biasa makan tenaga, sementara hasilnya tetap biasa-biasa saja.
Lantas siapa yang salah? Tentu saja sistem. Seperti kita ketahui salah satu pengertian sistem menurut Anatol Rapoport yaitu “satu kesatuan yang berfungsi sebagai satu kesatuan karena bagian-bagian yang saling bergantung dan sebuah metode yang bertujuan menemukan bagaimana sistem ini menyebabkan sistem yang lebih luas yang disebut sistem teori umum”. Maka apabila kita memandang unhas sebagai sebuah sistem dan renovasi jurusan sebagai produk dari sistem jelaslah bahwa kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh kesalahan sistem, terutama dalam hal komunikasi dan koordinasi karena Setiap sistem merupakan jaringan komunikasi yang membuka aliran informasi untuk proses penyesuaian diri. Sementara pada kasus yang terjadi, unhas tidak mampu membuka jaringan komunikasi dengan pihak jurusan yang jelas-jelas merupakan subsistem sehingga terjadilah ketidaksesuaian keinginan antara sistem dengan sub sistem. ketidaksesuaian itu dapat terlihat dari pernyataan ketua jurusan perikanan, bpk Musbir “seandainya dibicarakan lebih dahulu dengan pihak jurusan, kami melihat bahwa atap/genteng disini masih bagus, ya kalau ada anggaran sebesar itu yang lebih dibutuhkan jurusan saat ini bukan perbaikan atap, tapi bisa untuk penambahan satu atau dua ruang kelas. Harapan saya kedepannya ya kalau ada proyek seperti ini lagi kami dari jurusan di beri kesempatan untuk membicarakan apa-apa yang di butuhkan oleh jurusan saat ini.”


Minggu, 04 April 2010

Ngarai tak berdasar
Rembulan mengerang...getir yang bergetar
Ulah yang menjengah
Dimana lagi tarian bidadari
Tetap sirna meski ku koyak pelangi
Dalm jubahNya aku tercekat
Menimang zarrah keadilan yang patut ku dapatkan
Dalam dramaNya aku terikat
Mengeja naskah yang kian melengah
Terpaku aku pada mata air pilu
Meneteskan raganya bukan pada waktu
Duhai... seniman di anjungan kebesaran
Angkat aku dari dasar kegelapan
Biar remuk redam sendi urat nadiku
Izinkan aku berdiri di atas pengharapan yang hanya milikMu
Makassar, 22-25 desember 2009

rinduku


Antara dua danau
aku berdiri
dikeluasan hati yang terasa sunyi
dingin menumpahkan ingin pada harap yang juga menguap
membentuk titik-titik bening di awan putih menjernih
menggumpal sesal pada langit mengelabu
ini aku yang berdiri menanti
memainkan memory lagu lagu rindu
bukan pada raga
bukan pada kata
atau pada rupa
tapi
rinduku padang menghamba
rindu merajam tulang sumsummku
rindu mencabik nadi darahku
rinduku menggila
rindu air mengharap samudra
rindu batu melebur lava
rindu tanah terguncang gempa
rindu debu pada sahara
karena kasih itu menelisik kalbu yang ragu
menggugah raga yang jengah
menderma airmata yang lalai
kasih yang bertaut pada jiwa yang renta
jiwa yang mencari tempat kembali dikeluasan sagara yang jera
karena rinduku sehelai bulu mendamba kasih Mu
izinkan hamba meraih cintaMu dalam sujudku yang masih kaku

12 september 2009

Bunda beri andi bulan


Bunda?
Diluar purnama...
Tapi bunda tak ada
Bunda?
Adakah di syurga sebuah purnama?
Hingga bunda tidak lagi mau temani andi
Memandang purnama di jendela rumah kita?
Bunda...
Andi masih menunggu
Tapi bunda tetap tak mau tahu
Bukankah andi sudah menunggu?
ataukah bunda hendak meletakan rembulan itu di genggamanku?
Cinta yang rindu

Tanyakan padaku tentang bulan kelabu
Kegetiran yang sama serupa retakan bintang kejora
Menghujam menghimpit nadi jantungku
Walau kulukis mentari pagi...
Sinarnya pias tak berarti...
Tanyakan padaku tentang kegundahanmu
Adalah rasa pedih dalam kantung kecilku
Dimana air mengalir hangat menyisir
Walau kucabut lukamu...
Senyummu tak jauh dari kaku...
Sungguh bila itu yang harus ku kata
Pada berjuta makna aku ada
Mungkin bukan hanya senandung air mata
Tapi tentang kerinduan dan kepiluan yang kupunya
Betapa kurindu syair menggebu teguran Mu
Betapa kurindu irama tulus kasih sayang Mu
Betapa kurindu jarak yang begitu dekat dengan Mu
Meski rinduku rindu yang batu...
Rindu yang ragu...
Rindu yang syahdu
Rindu yang ...mu atau Mu
Mengalunlah cinta yang rindu...

Makassar 27 agustus 2009
Lumbung menggembung
Duu...h resah...
Adakah yang lengah?..
Dari jutaan jeruji yang terpatri menertawai
Disini negeri yang terselubung
Oleh lumbung yang kian menggembung
Pada cerita ribuan anak yang terserang busung
Duu...h
Siapa lagi yang tak dengar suara mengaduh???
Dari raga-raga yang tak henti melenguh
Bukan mengeluh
Bahkan mereka lebih terhormat dari bangsawan yang terbiasa mengeluh
Mengelu
Elu
Menge
Luh...lah...leh...
Apalagi yang tengah terjadi
Hanya satu lumbung yang terus menggembung
Terus menggembung
Terus
Menggunung
Setinggi do’a mereka yang mencapai balkon syurga para syuhada
Dengan sebuah teriak yang memekak
Duu...h
Seperti hendak berkata
‘kami teraniaya’

23.11
Makassar, 03 Jan 2010
Tujuh sayap terperangkap
Lalu tesekap
Lalu terjerembab
Lalu tersurat
Lalu terbebat
Lalu terkesiap
Lalu terdekap
Tak lagi merengkuh keluasan langit mengelabu
Dalam bunyi debur yang menggelisahkan
Getar
Debar
Kejar
Walau ku lukis warna pelangi
Tak kan sampai imaji pada diri
Bukan aku yang mau
Bukan dia yang minta
Atau mereka yang apa...???
Hanya teriak dalam jiwa yang sarat makna

22.54
Makassar, 03 jan 2010

Gundah
Terganti hati yang sunyi
Menyeringai pada luka yang jera
Ini riak-riak kehampaan lagi
Telah ku sekat diri tuk tak pernah kembali
Pada rembulan jingga yang menanti di ujung hari
Pada sempurna yang tak jua ku temui
Jika bias yang tetap tak jelas menyergap ditepi laut lepas
Biar ku kemas sapa sedemikian hingga agar tak renta kata yang kehilangan makna
Tapi aku tetap tak tahu
Kemana langkah membawaku
Adakah sebuah kisah yang indah
Atau sekedar lupa yang kebas
Dari awal hingga penghujung waktu
Ketika sepi mengikat mimpi dan nyeri menyayat ngeri
Berikan aku selendang bidadari yang padanya tersekap indah pelangi
Agar berlari aku pada nyata yang lagi tak ku rasa
Duhai penyair yang tak pernah lengah
Dapatkah kau puisikan langkahku yang jengah????????????
Untuk apa dentingan harpa berdentang indah??????
Bahkan dalam lirik lagu yang meresah
Akukah pengendali arah...
22.48
Makassar, 3 jan 2010

Membeku dalam ragu
Tercekat awan kelabu
Yang kini menyergapku dari segala penjuru
Menghancurkanku jadi butir pasir paling kerdil
Menghempaskanku pada masa yang nyata
Bahkan andaipun kenangan ini memang pernah ada
Aku rela menukarnya agar tak pernah menjelma
Agar tak kering lagi air mata
Agar tak kulihat lagi sepi sunyi
Agar ku tahu caraku merindu
Sungguh...
Mesin-mesin pencari tahu
Adakah telah sampai ia di sudut hatiku?
Untuk segera pergi dan meninggalkan luka baru
Atau lebih baik aku tersenyim dan pura-pura tidak tahu
Ah... enyah kau dari hidupku...!!!

Makassar, 08 januari 2010


Aku mencatat siluetmu dalam garis tegas sang waktu
Hingga ia tak mampu memendarakanmu
Mendendang nyanyi peri-peri talaga sunyi
Pada sendiri yang menyayat hati
Sebagaimana aku [percaya pada apa yang tak terkata
Meski rembulan tak pernah berubah jingga
Aku tahu ia ada
Serupa jutaan makna yang kau ajarkan tanpa kata
Dalam deburan ombak yang menampar karang dada
Segenep jiwa meluruh patuh pada sebongkah ego yang angkuh
Tak perlu lagi ku cari arti dari berlembar-lembar puisi
Yang telah kurangkai pagi siang dan malam hari
Karena kau definisi yang teramat ku kenali
Makassar, 08 januari 2010
Bicara rindu
Bicara sepenggal kisah yang pilu
Dialog kata yang renta akan kasih yang nyata
Bicara rindu...
Bicara waktu yang mengenang ragu
Butiran pasir putih yang menyepuh tanah kelabu
Menyulap rasa tiada menjadi gugusan fakta
Atau memutar semua logika pada pusaran emosi
Seperti sehelai kertas yang tertulis manis
Antara dua hayal aku mulai menangis
Harap-harap tak kunjung lenyap
Namun garis mimpi kian tak pasti
Adakah jua raga lagi merindu
Disebuah lagu yang kian sendu
Bilakah belum genap penantianku
Biarlah mengkristal angin rindu
Atas Mu yang ingin ku merindu
Yang karena Mu merindu
Yang oleh Mu merindu
Yang tanpa ragu merindu
Yang dengan berani merindu
Yang tak henti merindu
Hingga sang rindu menikamku dalam sejuta indahMu
Makassar, 27 desember 2009




Dari Jendela pete-pete
Aku dan Makassar adalah teman baru, hari ini genap 20 minggu perjumpaanku dari waktu pertama bertemu. Layaknya semua orang yang belum saling mengenal, kamipun mulai mencari tahu tabiat masing-masing. Aku memulai dengan merekam semua sudut kota dan sudut jalan yang ku lewati setiap pagi seperti hari ini, pertama kali kulangkahkan kaki dari pintu asrama aku tidak perlu menunggu ia menyapaku, guyuran hujan deras membuatku menjerit kesal
“oiii…., kejam sekali kau hari ini Makassar, lihat anginmu tanpa ampun menusuk seluruh kulitku hingga pedih kurasa, lalu ini hujan deras ini seperti mengolok-olok dengan menampari wajahku yang kusembunyikan di balik payung.” Ia terkekeh mendengar jeritanku
“ho..ho.. tidak usah kau menjerit begitu gadis manis aku bisa membaca kekesalan di wajahmu, biar-biarlah musim penghujan ini berlalu bukankah kau telah berhasil melalui penghujung musim kemarau lalu? Ho…ho… ini tidak akan lama bocah, kau hanya perlu duduk manis menunggu dan tanpa terasa musim hujan ini akan segera berlalau, kalau saja kau tahu, aku sama jemunya denganmu.” Ia mendengus suaranya terbawa angin lalu sehingga aku memepercepat langkahku
“ok lah kalau begitu, aku akan menguatkan diriku, omong-omong tentang kemarau itu enak saja kau bilang aku melaluinya seperti tanpa kepayahan, padahal kau lihat ini kulitku sudah sama hitamnya dengan orang-orang negroid di luar sana, belum lagi mengeras menyerupai kulit badak. Lantas belum habis masa adaptasiku dengan musim kemarau, sekarang kau menyerangku dengan hujan ini. “aku mengucapkannya dengan nada tidak suka yang kentara.
“hei… ayolah, kenapa manusia egois sekali? Seharusnya kau juga memikirkan aku yang kerepotan setiap kali beberapa bagian sungai di tubuhku meluap, tanggul-tanggul yang bocor, banjir, longsor dan semua hal yang selalu kalian salahkan padaku, padahal bukan aku yang mengatur silih bergantinya musim yang singgah di atas tubuhku. Apakah hanya karena aku berada pada garis lintang dan garis bujur yang membuatku harus patuh pada hukum alam lantas kalian bersikap seolah berhak untuk ikut menghakimiku, ini tidak adil teman ketika sekuat tenaga aku berusaha mengontrol keseimbangan tubuku agar tidak terjadi bencana-bancana baru, kalian justru dengan seenak hati menumpahkan caci maki padaku, “Makassar…makassar…” kata-kata menggantung itu selalu terdengar menyakitkan di telingaku, padahal selama ini aku hanya bersabar, membiarkan kalian berbuat apa saja di atas tubuhku, mendirikan berbagai macam gedung yang semakin hari semakin berat kutanggung, tapi beban ini belum apa-apa apabila ditambah dengan menyempitnya tanah-tanah sebagai pori-pori dan saluran pernapasanku aku sesak nona, hampir sekarat dengan semua pembangunan yang tidak lagi memperhitungkan keseimbangan alam fiu..hh” cukup lama aku terdiam demi mencerna kata-kata yang dia ucapkan dengan nada sendu itu.
Tiba-tiba aku merasa justru akulah yang kejam, betapa bodohnya terus-menerus menyalahkan Makassar saat baju di tiang jemuran tidak ada yang kering, menyalahkan Makassar lagi ketika kampus digenangi air, menyalahkan Makassar lagi saat memasauki ruang kuliah dengan menggigil dan baju setengah basah dan terus menyalahkan Makassar setiap kali ada kesempatan.
Sedikit melompat aku menaiki pete-pete, lupa untuk berhati-hati karena pikiranku masih berputar –putar, dan akibatnya sebuah genangan coklat terlanjur ku jejak sehingga cipratannya mengenai rok abu-abuku
“kau juga boleh menyalahkanku sekarang, bahkan aku merusak rok manismu dengan sebuah pola baru ho…ho…” tertawa getir.
Aku semakin tidak enak hati, bingung memulai pembicaraan. Dua menit berlalu, ia asyik menyenandungkan lagu anging mamiri, salah satu favoritku. Hujan semakin menderas mengetuk-ngetuk kaca jendela di sampingku dengan irama merdu dan kaca itu mulai menggerutu saat hujan terus saja mengganggu.
“seandainya belum terlambat untuk meminta maaf?” hanya itu kata-kata yang terlintas dalam tempurung kepalaku.
“oho… kau membuatku tersanjung nona, tidak perlu minta maaf, bahkan aku mulai terbiasa dengan peranku sebagai biang kerok.he…he… maukah kau melihat ke luar jendela? Lihatlah wajahku yang sebenarnya!” aku memenuhi permintaannya ya… hitung-hitung sebagai rasa penyesalanku yang telah salah menilai kawan baruku. Menatap Makassar dari jendela pete-pete membuatku tertegun, merasakan kesedihan yang dia ceritakan dan mulai menimbang-nimbang berbagai hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jarak dari kampus sampai cendrawasih cukup jauh untuk membuatku berani mengambil kesimpulan. Makassar dari jendela pete-pete seperti sebuah bangunan setengah jadi yang lupa di selesaikan, seperti seloyang kue yang di panggang setengah matang seperti ah… aku sudah kehabisan kata yang tepat untuk membuat perumpamaan dari ketidak teraturan dan ketidakjelasan bentuk Makassar yang ku temukan. Intinya Makassar dalam guyuran hujan yang kian menderas terlihat amat menyedihkan, ruko-ruko yang belum jadi, jalan yang miring sekian derajat sehingga air menggenang di salah satu ruas jalan, parit-parit yang meluap, lahan-lahan kosong yanh menyerupai rawa, pejalan kaki yang mengacaukan lalu lintas sekedar untuk mencari pijakan yang tidak menenggelamkan sandal bermerk mereka, tubuh-tubuh mungil basah kuyup menggenggam payung ukuran jumbo erat-erat berdiri dengan mulut membiru dan badan menggigil di depan mall-mall yang tetap ramai pengunjung, kesimpulannya tak ada satupun hal yang membuatku berdecak kagum saat memandang Makassar dari jendela pete-pete pagi ini, aku miris memikirkan apa yang akan aku katakan, tapi ia tahu semua yang melintas dipikiranku , bahkan aku yakin ia juga bisa membaca perubahan raut mukaku itu yang membuatnya tertawa sebentar sebelum kemudian kembali bersenandung merdu
“anging mamiri kupasang…”
“ehem…” aku berdehem ragu
“nitujui tongtongana…” tidak memperdulikanku.
“apa yang bisa aku lakukan untukmu?” akhirnya mulutku dapat melepaskan kalimat itu.
Tawanya seketika pecah berderai membuatku tersinggung, tentu saja masa niat baikku ditertawakan sedemikian rupa aku tidak terima apanya yang lucu coba? Kulipat mukaku dan memajukan bibirku beberapa senti tanda aku protes mendengar tawanya. Beberapa detik kemudian ia berhenti
“jangan marah nona, biarkan aku tertawa sebentar saja kemudian ku jelaskan sabab musababnya” tertawa lagi
“tidak, aku tidak suka, aku bukan badut dan rasanya tidak ada yang lucu.” Masih merenggut
“oh ya, tentu–tentu saja kau bukan badut nona, tapi memang ada yang lucu, sekarang biar aku yang bertanya, apa yang bisa kau lakukan untukku mahasiswa? Bukankah kalian sangat sibuk mencerca para penguasa? Mempertanyakan kebijakan yang ada, malah justru seringkali ulah kalian membuat wajahku semakin lebam oleh luka, api disana sini, macet, huru-hara. Seharusnya mereka yang menyebut dirinya mahasiswa itu harus tahu rasanya menjadi aku yang menggelinjang geli setiap kali kaki ribuan mahasiswa menjejak tubuhku, mengatasnamakan rakyat kalian leluasa melaknat, aku hanya tertawa bagaimana tidak baru menyandang titel mahasiswa sudah berani membuat tubuhku porak poranda,apalagi kalau jadi penguasa? Aku pasti tidak akan dilirik walau hanya sebelah mata.”
Ia kembali tertawa, tapi pada bagian ini aku tidak terima tuduhannya pada mahasiswa yang sedemikian rupa sehingga emosiku tersulut, kujelaskan tentang tanggung jawab moral yang baru-baru ini diterangkan senior padaku, ku jelaskan tentang fungsi sosial kontrol yang menggayut di bahu kiri kananku, ku jelaskan tentang agen of change yang melekat dalam identitasku tapi ia masih tertawa dan menatapku degan pendangan iba, mengira aku hanya seorang maba yang terpengaruh oleh semua ceramah senior dalam prosesi pengkaderan yang baru beberapa hari berlalu, aku masih tidak terima ketika ia mengatakan mahasiswa sebagai pemicu huru-hara, ku jelaskan bahwa semua itu hanya ulah oknum(meskipun memang mahasiswa) yang tidak bertanggung jawab. Kami berdebat panjang gara-gara topik ini dan sampai aku turun di cendrawasih kami belum bertegur sapa, tetap pada pendirian masing-masing tanpa ada yang mau mengalah.
Makassar dari jendela pete-pete membuatku malu pada identitas kemahasiswaanku, menatap Makassar dari jendela pete-pete juga telah merenggangkan hubunganku dengannya. Sampai saat kubuat tulisan ini Makassar tidak pernah lagi menyapaku padahal aku tahu dia begitu dekat, ada di sekitarku bahkan ada di hatiku tapi ego memang sulit mengalah. Baru ketika tulisan ini dibaca orang ia datang mengetuk pintu kamarku dan bertanya “apakah kita masih berteman?” aku tidak menjawab membukakan pintu dan memperlihatkan sketsa tata kota Makassar yang ku dapat dari seorang teman dan kini menjeplak di dinding kamarku, sekedar meyakinkan aku memang mahasiswa tapi bukan pembuat huru-hara.
Kutulis untuk Makassar
Ditingkahi hujan pada 12 januari 2010
Catatan:
pete-pete: sebutan untuk angkutan umum yang ada di Makassar