Laman

Label

Jumat, 11 Februari 2011

aku... kamu... dia... dan semua


…Takkan ada cinta seperti yang dulu…
Jangan salahkan aku jika lirik lagu itu terus terputar di kepalaku. Kau bahkan lebih tahu apa yang menjadi kegelisahanku. Pada malam-malam yang membuatku terdiam menyaksikan semua perubahan yang berjalan perlahan. Telah lekat semua memory kebersamaan kita hingga membuatku merasa keliru atas semua hal yang tiba-tiba menjadi kaku.
Maka pada hari ini ijinkan aku berkisah tentang rumahku, rumah yang menaungi aku, kamu, dia dan semuanya. Rumah ini tak lebih indah dari sebuah tempat di negeri seribu kupu-kupu, tak ada senandung merdu para peri dipagi hari, tidak juga senyum dan sapa hangat mereka yang kita sebut orang tua, hanya ada aku, kamu, dia dan semuanya. Tapi rumah ini cukuplah bagiku,mestinya cukup pula bagi mu, dia dan semua. cukup untuk menampung semua kisahku. Ada canda, tawa, juga air mata di dalamnya, dan yang terpenting aku merasakan genggaman tanganmu, disetiap hari-hariku, menguatkan kala ku rapuh, menopangku kala ku jatuh, menghampiri kala ku sendiri, berusaha membuatku tertawa kala ku dirundung duka. Rumahku rumah cahaya, kala aku masuk dan menutup pintunya lepas semua resah dan was-was pada dunia di luar sana.
Tak ada keraguan tentang apapun kala kita duduk bersama, ya kita! aku, kamu, dia dan semuanya saling bicara apa adanya, bukan untuk membuka semua rahasia karena bahkan satu tahun lamanya tak mebuatku tahu siapa dirimu, dirinya dan diri semuanya. Tapi kala itu kita tetap saling bicara untuk menghalau semua prasangka, karena kita berasal dari arah yang tak sama, dari pelosok yang berbeda, dan dari rahim yang juga tak ada kaitannya. Lalu kita bertemu dalam simpul mimpi-mimpi ini, menyusun kepingan puzzle untuk melihat kehidupan secara utuh, jika kamu dia dan semuanya belum tahu tentang itu, maka suatu hari kalian haruslah mencariku untuk melihat kepingan mana dari hidupmu yang ada pada diriku. Pun denganku yang ingin menyusun nya dengan sempurna.
Lalu semuanya bermula, ketika satu diantara kita memilih untuk diam, memendam dan akhirnya mendendam. Satu yang lain mulai bicara, mengusik dendam dalam kediaman yang nyaris sempurna. Satu yang lain menggumam membisikkan nama-nama yang dituduh sebagai tersangka. Satu yang lain tersedu sambil menatap album kenangan. Satu yang lain tak acuh dan menganggap semua tak tampak didepan matanya. Dan mulai detik itu, waktu yang tak pernah berpihak pada sesiapa terus bergerak, Memorak porandakan semua pola yang susah payah kita bangun bersama.
Maka pada hari ini ijinkan aku berkisah tentang Kita! Aku, kamu, dia dan semuanya.
Dan tentangku. Aku sama sepertimu bukan? Tak peduli kau menganggapku sebagai teman, sahabat, saudara, atau bukan siapa-siapa. Karena tanpa semua label itu aku telah tahu pasti bahwa aku adalah orang yang memiliki arti, terlebih ketika aku berada disampingmu, dia dan semuanya. Aku hanyalah orang biasa yang jauh dari sempurna dan seringkali membuatmu kesal, membuat dia kewalahan, dan membuat semuanya jadi runyam. Tapi dulu kalian selalu menghadiahi ku sebuah senyuman yang artinya setara dengan Never mind. Kini kekecewaanku pada kita kian menggurita, rupanya masih ada sikap-sikap tak dewasa antara kita, kalaupun ada yang terjadi hanya saling mencibir dan bisik-bisik tentang si anu yang sok dewasa.
Tak bisakah kita lupakan sejenak tentang semua sengketa? Biarkan aku mengobati kerinduan pada aroma rumahku yang dulu. Bukankah selama ini aku menjelma ombak pada samudra? Patuh pada angin setia pada purnama, tanpa pernah meminta. Maka hari ini aku hanya meminta sedikit keikhlasanmu untuk duduk disampingku, bersama dia dan semuanya. Menanggalkan dan mempermalukan sang ego yang selama ini menguasai dirimu. Bahkan aku tak memintamu untuk bicara apa adanya seperti masa itu, hanya duduk bersama, diruang tamu rumah kita. Tak sadarkah kau berbulan lamanya kursi itu pilu melihatmu yang segera beranjak ketika dia tiba, juga melihat dia yang tak pernah mau singgah selama kau duduk disana. Padahal kita pernah duduk bersama di kursi pesawat, di kursi bis kota, dan di kursi kereta. Tapi sayangnya kursi tua ruang tamu tak mampu menyatukan hati kita. Mengapa semua jadi serba pura-pura?
Pagi ini aku kembali duduk menunggumu, dengan secangkir teh dan selembar Koran dipangkuanku. Namun kalian (kita tanpa aku) lewat begitu saja, mondar-mandir dihadapanku.
Rumahku masih rumah yang dulu. Tapi cahayanya meredup tertiup keegoisan kita. Lantas siapa yang mau menemaniku menyalakan kembali pelita keikhlasan itu?

3-4 januari 2011