Laman

Label

Minggu, 04 April 2010

Ngarai tak berdasar
Rembulan mengerang...getir yang bergetar
Ulah yang menjengah
Dimana lagi tarian bidadari
Tetap sirna meski ku koyak pelangi
Dalm jubahNya aku tercekat
Menimang zarrah keadilan yang patut ku dapatkan
Dalam dramaNya aku terikat
Mengeja naskah yang kian melengah
Terpaku aku pada mata air pilu
Meneteskan raganya bukan pada waktu
Duhai... seniman di anjungan kebesaran
Angkat aku dari dasar kegelapan
Biar remuk redam sendi urat nadiku
Izinkan aku berdiri di atas pengharapan yang hanya milikMu
Makassar, 22-25 desember 2009

rinduku


Antara dua danau
aku berdiri
dikeluasan hati yang terasa sunyi
dingin menumpahkan ingin pada harap yang juga menguap
membentuk titik-titik bening di awan putih menjernih
menggumpal sesal pada langit mengelabu
ini aku yang berdiri menanti
memainkan memory lagu lagu rindu
bukan pada raga
bukan pada kata
atau pada rupa
tapi
rinduku padang menghamba
rindu merajam tulang sumsummku
rindu mencabik nadi darahku
rinduku menggila
rindu air mengharap samudra
rindu batu melebur lava
rindu tanah terguncang gempa
rindu debu pada sahara
karena kasih itu menelisik kalbu yang ragu
menggugah raga yang jengah
menderma airmata yang lalai
kasih yang bertaut pada jiwa yang renta
jiwa yang mencari tempat kembali dikeluasan sagara yang jera
karena rinduku sehelai bulu mendamba kasih Mu
izinkan hamba meraih cintaMu dalam sujudku yang masih kaku

12 september 2009

Bunda beri andi bulan


Bunda?
Diluar purnama...
Tapi bunda tak ada
Bunda?
Adakah di syurga sebuah purnama?
Hingga bunda tidak lagi mau temani andi
Memandang purnama di jendela rumah kita?
Bunda...
Andi masih menunggu
Tapi bunda tetap tak mau tahu
Bukankah andi sudah menunggu?
ataukah bunda hendak meletakan rembulan itu di genggamanku?
Cinta yang rindu

Tanyakan padaku tentang bulan kelabu
Kegetiran yang sama serupa retakan bintang kejora
Menghujam menghimpit nadi jantungku
Walau kulukis mentari pagi...
Sinarnya pias tak berarti...
Tanyakan padaku tentang kegundahanmu
Adalah rasa pedih dalam kantung kecilku
Dimana air mengalir hangat menyisir
Walau kucabut lukamu...
Senyummu tak jauh dari kaku...
Sungguh bila itu yang harus ku kata
Pada berjuta makna aku ada
Mungkin bukan hanya senandung air mata
Tapi tentang kerinduan dan kepiluan yang kupunya
Betapa kurindu syair menggebu teguran Mu
Betapa kurindu irama tulus kasih sayang Mu
Betapa kurindu jarak yang begitu dekat dengan Mu
Meski rinduku rindu yang batu...
Rindu yang ragu...
Rindu yang syahdu
Rindu yang ...mu atau Mu
Mengalunlah cinta yang rindu...

Makassar 27 agustus 2009
Lumbung menggembung
Duu...h resah...
Adakah yang lengah?..
Dari jutaan jeruji yang terpatri menertawai
Disini negeri yang terselubung
Oleh lumbung yang kian menggembung
Pada cerita ribuan anak yang terserang busung
Duu...h
Siapa lagi yang tak dengar suara mengaduh???
Dari raga-raga yang tak henti melenguh
Bukan mengeluh
Bahkan mereka lebih terhormat dari bangsawan yang terbiasa mengeluh
Mengelu
Elu
Menge
Luh...lah...leh...
Apalagi yang tengah terjadi
Hanya satu lumbung yang terus menggembung
Terus menggembung
Terus
Menggunung
Setinggi do’a mereka yang mencapai balkon syurga para syuhada
Dengan sebuah teriak yang memekak
Duu...h
Seperti hendak berkata
‘kami teraniaya’

23.11
Makassar, 03 Jan 2010
Tujuh sayap terperangkap
Lalu tesekap
Lalu terjerembab
Lalu tersurat
Lalu terbebat
Lalu terkesiap
Lalu terdekap
Tak lagi merengkuh keluasan langit mengelabu
Dalam bunyi debur yang menggelisahkan
Getar
Debar
Kejar
Walau ku lukis warna pelangi
Tak kan sampai imaji pada diri
Bukan aku yang mau
Bukan dia yang minta
Atau mereka yang apa...???
Hanya teriak dalam jiwa yang sarat makna

22.54
Makassar, 03 jan 2010

Gundah
Terganti hati yang sunyi
Menyeringai pada luka yang jera
Ini riak-riak kehampaan lagi
Telah ku sekat diri tuk tak pernah kembali
Pada rembulan jingga yang menanti di ujung hari
Pada sempurna yang tak jua ku temui
Jika bias yang tetap tak jelas menyergap ditepi laut lepas
Biar ku kemas sapa sedemikian hingga agar tak renta kata yang kehilangan makna
Tapi aku tetap tak tahu
Kemana langkah membawaku
Adakah sebuah kisah yang indah
Atau sekedar lupa yang kebas
Dari awal hingga penghujung waktu
Ketika sepi mengikat mimpi dan nyeri menyayat ngeri
Berikan aku selendang bidadari yang padanya tersekap indah pelangi
Agar berlari aku pada nyata yang lagi tak ku rasa
Duhai penyair yang tak pernah lengah
Dapatkah kau puisikan langkahku yang jengah????????????
Untuk apa dentingan harpa berdentang indah??????
Bahkan dalam lirik lagu yang meresah
Akukah pengendali arah...
22.48
Makassar, 3 jan 2010

Membeku dalam ragu
Tercekat awan kelabu
Yang kini menyergapku dari segala penjuru
Menghancurkanku jadi butir pasir paling kerdil
Menghempaskanku pada masa yang nyata
Bahkan andaipun kenangan ini memang pernah ada
Aku rela menukarnya agar tak pernah menjelma
Agar tak kering lagi air mata
Agar tak kulihat lagi sepi sunyi
Agar ku tahu caraku merindu
Sungguh...
Mesin-mesin pencari tahu
Adakah telah sampai ia di sudut hatiku?
Untuk segera pergi dan meninggalkan luka baru
Atau lebih baik aku tersenyim dan pura-pura tidak tahu
Ah... enyah kau dari hidupku...!!!

Makassar, 08 januari 2010


Aku mencatat siluetmu dalam garis tegas sang waktu
Hingga ia tak mampu memendarakanmu
Mendendang nyanyi peri-peri talaga sunyi
Pada sendiri yang menyayat hati
Sebagaimana aku [percaya pada apa yang tak terkata
Meski rembulan tak pernah berubah jingga
Aku tahu ia ada
Serupa jutaan makna yang kau ajarkan tanpa kata
Dalam deburan ombak yang menampar karang dada
Segenep jiwa meluruh patuh pada sebongkah ego yang angkuh
Tak perlu lagi ku cari arti dari berlembar-lembar puisi
Yang telah kurangkai pagi siang dan malam hari
Karena kau definisi yang teramat ku kenali
Makassar, 08 januari 2010
Bicara rindu
Bicara sepenggal kisah yang pilu
Dialog kata yang renta akan kasih yang nyata
Bicara rindu...
Bicara waktu yang mengenang ragu
Butiran pasir putih yang menyepuh tanah kelabu
Menyulap rasa tiada menjadi gugusan fakta
Atau memutar semua logika pada pusaran emosi
Seperti sehelai kertas yang tertulis manis
Antara dua hayal aku mulai menangis
Harap-harap tak kunjung lenyap
Namun garis mimpi kian tak pasti
Adakah jua raga lagi merindu
Disebuah lagu yang kian sendu
Bilakah belum genap penantianku
Biarlah mengkristal angin rindu
Atas Mu yang ingin ku merindu
Yang karena Mu merindu
Yang oleh Mu merindu
Yang tanpa ragu merindu
Yang dengan berani merindu
Yang tak henti merindu
Hingga sang rindu menikamku dalam sejuta indahMu
Makassar, 27 desember 2009




Dari Jendela pete-pete
Aku dan Makassar adalah teman baru, hari ini genap 20 minggu perjumpaanku dari waktu pertama bertemu. Layaknya semua orang yang belum saling mengenal, kamipun mulai mencari tahu tabiat masing-masing. Aku memulai dengan merekam semua sudut kota dan sudut jalan yang ku lewati setiap pagi seperti hari ini, pertama kali kulangkahkan kaki dari pintu asrama aku tidak perlu menunggu ia menyapaku, guyuran hujan deras membuatku menjerit kesal
“oiii…., kejam sekali kau hari ini Makassar, lihat anginmu tanpa ampun menusuk seluruh kulitku hingga pedih kurasa, lalu ini hujan deras ini seperti mengolok-olok dengan menampari wajahku yang kusembunyikan di balik payung.” Ia terkekeh mendengar jeritanku
“ho..ho.. tidak usah kau menjerit begitu gadis manis aku bisa membaca kekesalan di wajahmu, biar-biarlah musim penghujan ini berlalu bukankah kau telah berhasil melalui penghujung musim kemarau lalu? Ho…ho… ini tidak akan lama bocah, kau hanya perlu duduk manis menunggu dan tanpa terasa musim hujan ini akan segera berlalau, kalau saja kau tahu, aku sama jemunya denganmu.” Ia mendengus suaranya terbawa angin lalu sehingga aku memepercepat langkahku
“ok lah kalau begitu, aku akan menguatkan diriku, omong-omong tentang kemarau itu enak saja kau bilang aku melaluinya seperti tanpa kepayahan, padahal kau lihat ini kulitku sudah sama hitamnya dengan orang-orang negroid di luar sana, belum lagi mengeras menyerupai kulit badak. Lantas belum habis masa adaptasiku dengan musim kemarau, sekarang kau menyerangku dengan hujan ini. “aku mengucapkannya dengan nada tidak suka yang kentara.
“hei… ayolah, kenapa manusia egois sekali? Seharusnya kau juga memikirkan aku yang kerepotan setiap kali beberapa bagian sungai di tubuhku meluap, tanggul-tanggul yang bocor, banjir, longsor dan semua hal yang selalu kalian salahkan padaku, padahal bukan aku yang mengatur silih bergantinya musim yang singgah di atas tubuhku. Apakah hanya karena aku berada pada garis lintang dan garis bujur yang membuatku harus patuh pada hukum alam lantas kalian bersikap seolah berhak untuk ikut menghakimiku, ini tidak adil teman ketika sekuat tenaga aku berusaha mengontrol keseimbangan tubuku agar tidak terjadi bencana-bancana baru, kalian justru dengan seenak hati menumpahkan caci maki padaku, “Makassar…makassar…” kata-kata menggantung itu selalu terdengar menyakitkan di telingaku, padahal selama ini aku hanya bersabar, membiarkan kalian berbuat apa saja di atas tubuhku, mendirikan berbagai macam gedung yang semakin hari semakin berat kutanggung, tapi beban ini belum apa-apa apabila ditambah dengan menyempitnya tanah-tanah sebagai pori-pori dan saluran pernapasanku aku sesak nona, hampir sekarat dengan semua pembangunan yang tidak lagi memperhitungkan keseimbangan alam fiu..hh” cukup lama aku terdiam demi mencerna kata-kata yang dia ucapkan dengan nada sendu itu.
Tiba-tiba aku merasa justru akulah yang kejam, betapa bodohnya terus-menerus menyalahkan Makassar saat baju di tiang jemuran tidak ada yang kering, menyalahkan Makassar lagi ketika kampus digenangi air, menyalahkan Makassar lagi saat memasauki ruang kuliah dengan menggigil dan baju setengah basah dan terus menyalahkan Makassar setiap kali ada kesempatan.
Sedikit melompat aku menaiki pete-pete, lupa untuk berhati-hati karena pikiranku masih berputar –putar, dan akibatnya sebuah genangan coklat terlanjur ku jejak sehingga cipratannya mengenai rok abu-abuku
“kau juga boleh menyalahkanku sekarang, bahkan aku merusak rok manismu dengan sebuah pola baru ho…ho…” tertawa getir.
Aku semakin tidak enak hati, bingung memulai pembicaraan. Dua menit berlalu, ia asyik menyenandungkan lagu anging mamiri, salah satu favoritku. Hujan semakin menderas mengetuk-ngetuk kaca jendela di sampingku dengan irama merdu dan kaca itu mulai menggerutu saat hujan terus saja mengganggu.
“seandainya belum terlambat untuk meminta maaf?” hanya itu kata-kata yang terlintas dalam tempurung kepalaku.
“oho… kau membuatku tersanjung nona, tidak perlu minta maaf, bahkan aku mulai terbiasa dengan peranku sebagai biang kerok.he…he… maukah kau melihat ke luar jendela? Lihatlah wajahku yang sebenarnya!” aku memenuhi permintaannya ya… hitung-hitung sebagai rasa penyesalanku yang telah salah menilai kawan baruku. Menatap Makassar dari jendela pete-pete membuatku tertegun, merasakan kesedihan yang dia ceritakan dan mulai menimbang-nimbang berbagai hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jarak dari kampus sampai cendrawasih cukup jauh untuk membuatku berani mengambil kesimpulan. Makassar dari jendela pete-pete seperti sebuah bangunan setengah jadi yang lupa di selesaikan, seperti seloyang kue yang di panggang setengah matang seperti ah… aku sudah kehabisan kata yang tepat untuk membuat perumpamaan dari ketidak teraturan dan ketidakjelasan bentuk Makassar yang ku temukan. Intinya Makassar dalam guyuran hujan yang kian menderas terlihat amat menyedihkan, ruko-ruko yang belum jadi, jalan yang miring sekian derajat sehingga air menggenang di salah satu ruas jalan, parit-parit yang meluap, lahan-lahan kosong yanh menyerupai rawa, pejalan kaki yang mengacaukan lalu lintas sekedar untuk mencari pijakan yang tidak menenggelamkan sandal bermerk mereka, tubuh-tubuh mungil basah kuyup menggenggam payung ukuran jumbo erat-erat berdiri dengan mulut membiru dan badan menggigil di depan mall-mall yang tetap ramai pengunjung, kesimpulannya tak ada satupun hal yang membuatku berdecak kagum saat memandang Makassar dari jendela pete-pete pagi ini, aku miris memikirkan apa yang akan aku katakan, tapi ia tahu semua yang melintas dipikiranku , bahkan aku yakin ia juga bisa membaca perubahan raut mukaku itu yang membuatnya tertawa sebentar sebelum kemudian kembali bersenandung merdu
“anging mamiri kupasang…”
“ehem…” aku berdehem ragu
“nitujui tongtongana…” tidak memperdulikanku.
“apa yang bisa aku lakukan untukmu?” akhirnya mulutku dapat melepaskan kalimat itu.
Tawanya seketika pecah berderai membuatku tersinggung, tentu saja masa niat baikku ditertawakan sedemikian rupa aku tidak terima apanya yang lucu coba? Kulipat mukaku dan memajukan bibirku beberapa senti tanda aku protes mendengar tawanya. Beberapa detik kemudian ia berhenti
“jangan marah nona, biarkan aku tertawa sebentar saja kemudian ku jelaskan sabab musababnya” tertawa lagi
“tidak, aku tidak suka, aku bukan badut dan rasanya tidak ada yang lucu.” Masih merenggut
“oh ya, tentu–tentu saja kau bukan badut nona, tapi memang ada yang lucu, sekarang biar aku yang bertanya, apa yang bisa kau lakukan untukku mahasiswa? Bukankah kalian sangat sibuk mencerca para penguasa? Mempertanyakan kebijakan yang ada, malah justru seringkali ulah kalian membuat wajahku semakin lebam oleh luka, api disana sini, macet, huru-hara. Seharusnya mereka yang menyebut dirinya mahasiswa itu harus tahu rasanya menjadi aku yang menggelinjang geli setiap kali kaki ribuan mahasiswa menjejak tubuhku, mengatasnamakan rakyat kalian leluasa melaknat, aku hanya tertawa bagaimana tidak baru menyandang titel mahasiswa sudah berani membuat tubuhku porak poranda,apalagi kalau jadi penguasa? Aku pasti tidak akan dilirik walau hanya sebelah mata.”
Ia kembali tertawa, tapi pada bagian ini aku tidak terima tuduhannya pada mahasiswa yang sedemikian rupa sehingga emosiku tersulut, kujelaskan tentang tanggung jawab moral yang baru-baru ini diterangkan senior padaku, ku jelaskan tentang fungsi sosial kontrol yang menggayut di bahu kiri kananku, ku jelaskan tentang agen of change yang melekat dalam identitasku tapi ia masih tertawa dan menatapku degan pendangan iba, mengira aku hanya seorang maba yang terpengaruh oleh semua ceramah senior dalam prosesi pengkaderan yang baru beberapa hari berlalu, aku masih tidak terima ketika ia mengatakan mahasiswa sebagai pemicu huru-hara, ku jelaskan bahwa semua itu hanya ulah oknum(meskipun memang mahasiswa) yang tidak bertanggung jawab. Kami berdebat panjang gara-gara topik ini dan sampai aku turun di cendrawasih kami belum bertegur sapa, tetap pada pendirian masing-masing tanpa ada yang mau mengalah.
Makassar dari jendela pete-pete membuatku malu pada identitas kemahasiswaanku, menatap Makassar dari jendela pete-pete juga telah merenggangkan hubunganku dengannya. Sampai saat kubuat tulisan ini Makassar tidak pernah lagi menyapaku padahal aku tahu dia begitu dekat, ada di sekitarku bahkan ada di hatiku tapi ego memang sulit mengalah. Baru ketika tulisan ini dibaca orang ia datang mengetuk pintu kamarku dan bertanya “apakah kita masih berteman?” aku tidak menjawab membukakan pintu dan memperlihatkan sketsa tata kota Makassar yang ku dapat dari seorang teman dan kini menjeplak di dinding kamarku, sekedar meyakinkan aku memang mahasiswa tapi bukan pembuat huru-hara.
Kutulis untuk Makassar
Ditingkahi hujan pada 12 januari 2010
Catatan:
pete-pete: sebutan untuk angkutan umum yang ada di Makassar