Laman

Label

Minggu, 04 April 2010


Dari Jendela pete-pete
Aku dan Makassar adalah teman baru, hari ini genap 20 minggu perjumpaanku dari waktu pertama bertemu. Layaknya semua orang yang belum saling mengenal, kamipun mulai mencari tahu tabiat masing-masing. Aku memulai dengan merekam semua sudut kota dan sudut jalan yang ku lewati setiap pagi seperti hari ini, pertama kali kulangkahkan kaki dari pintu asrama aku tidak perlu menunggu ia menyapaku, guyuran hujan deras membuatku menjerit kesal
“oiii…., kejam sekali kau hari ini Makassar, lihat anginmu tanpa ampun menusuk seluruh kulitku hingga pedih kurasa, lalu ini hujan deras ini seperti mengolok-olok dengan menampari wajahku yang kusembunyikan di balik payung.” Ia terkekeh mendengar jeritanku
“ho..ho.. tidak usah kau menjerit begitu gadis manis aku bisa membaca kekesalan di wajahmu, biar-biarlah musim penghujan ini berlalu bukankah kau telah berhasil melalui penghujung musim kemarau lalu? Ho…ho… ini tidak akan lama bocah, kau hanya perlu duduk manis menunggu dan tanpa terasa musim hujan ini akan segera berlalau, kalau saja kau tahu, aku sama jemunya denganmu.” Ia mendengus suaranya terbawa angin lalu sehingga aku memepercepat langkahku
“ok lah kalau begitu, aku akan menguatkan diriku, omong-omong tentang kemarau itu enak saja kau bilang aku melaluinya seperti tanpa kepayahan, padahal kau lihat ini kulitku sudah sama hitamnya dengan orang-orang negroid di luar sana, belum lagi mengeras menyerupai kulit badak. Lantas belum habis masa adaptasiku dengan musim kemarau, sekarang kau menyerangku dengan hujan ini. “aku mengucapkannya dengan nada tidak suka yang kentara.
“hei… ayolah, kenapa manusia egois sekali? Seharusnya kau juga memikirkan aku yang kerepotan setiap kali beberapa bagian sungai di tubuhku meluap, tanggul-tanggul yang bocor, banjir, longsor dan semua hal yang selalu kalian salahkan padaku, padahal bukan aku yang mengatur silih bergantinya musim yang singgah di atas tubuhku. Apakah hanya karena aku berada pada garis lintang dan garis bujur yang membuatku harus patuh pada hukum alam lantas kalian bersikap seolah berhak untuk ikut menghakimiku, ini tidak adil teman ketika sekuat tenaga aku berusaha mengontrol keseimbangan tubuku agar tidak terjadi bencana-bancana baru, kalian justru dengan seenak hati menumpahkan caci maki padaku, “Makassar…makassar…” kata-kata menggantung itu selalu terdengar menyakitkan di telingaku, padahal selama ini aku hanya bersabar, membiarkan kalian berbuat apa saja di atas tubuhku, mendirikan berbagai macam gedung yang semakin hari semakin berat kutanggung, tapi beban ini belum apa-apa apabila ditambah dengan menyempitnya tanah-tanah sebagai pori-pori dan saluran pernapasanku aku sesak nona, hampir sekarat dengan semua pembangunan yang tidak lagi memperhitungkan keseimbangan alam fiu..hh” cukup lama aku terdiam demi mencerna kata-kata yang dia ucapkan dengan nada sendu itu.
Tiba-tiba aku merasa justru akulah yang kejam, betapa bodohnya terus-menerus menyalahkan Makassar saat baju di tiang jemuran tidak ada yang kering, menyalahkan Makassar lagi ketika kampus digenangi air, menyalahkan Makassar lagi saat memasauki ruang kuliah dengan menggigil dan baju setengah basah dan terus menyalahkan Makassar setiap kali ada kesempatan.
Sedikit melompat aku menaiki pete-pete, lupa untuk berhati-hati karena pikiranku masih berputar –putar, dan akibatnya sebuah genangan coklat terlanjur ku jejak sehingga cipratannya mengenai rok abu-abuku
“kau juga boleh menyalahkanku sekarang, bahkan aku merusak rok manismu dengan sebuah pola baru ho…ho…” tertawa getir.
Aku semakin tidak enak hati, bingung memulai pembicaraan. Dua menit berlalu, ia asyik menyenandungkan lagu anging mamiri, salah satu favoritku. Hujan semakin menderas mengetuk-ngetuk kaca jendela di sampingku dengan irama merdu dan kaca itu mulai menggerutu saat hujan terus saja mengganggu.
“seandainya belum terlambat untuk meminta maaf?” hanya itu kata-kata yang terlintas dalam tempurung kepalaku.
“oho… kau membuatku tersanjung nona, tidak perlu minta maaf, bahkan aku mulai terbiasa dengan peranku sebagai biang kerok.he…he… maukah kau melihat ke luar jendela? Lihatlah wajahku yang sebenarnya!” aku memenuhi permintaannya ya… hitung-hitung sebagai rasa penyesalanku yang telah salah menilai kawan baruku. Menatap Makassar dari jendela pete-pete membuatku tertegun, merasakan kesedihan yang dia ceritakan dan mulai menimbang-nimbang berbagai hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jarak dari kampus sampai cendrawasih cukup jauh untuk membuatku berani mengambil kesimpulan. Makassar dari jendela pete-pete seperti sebuah bangunan setengah jadi yang lupa di selesaikan, seperti seloyang kue yang di panggang setengah matang seperti ah… aku sudah kehabisan kata yang tepat untuk membuat perumpamaan dari ketidak teraturan dan ketidakjelasan bentuk Makassar yang ku temukan. Intinya Makassar dalam guyuran hujan yang kian menderas terlihat amat menyedihkan, ruko-ruko yang belum jadi, jalan yang miring sekian derajat sehingga air menggenang di salah satu ruas jalan, parit-parit yang meluap, lahan-lahan kosong yanh menyerupai rawa, pejalan kaki yang mengacaukan lalu lintas sekedar untuk mencari pijakan yang tidak menenggelamkan sandal bermerk mereka, tubuh-tubuh mungil basah kuyup menggenggam payung ukuran jumbo erat-erat berdiri dengan mulut membiru dan badan menggigil di depan mall-mall yang tetap ramai pengunjung, kesimpulannya tak ada satupun hal yang membuatku berdecak kagum saat memandang Makassar dari jendela pete-pete pagi ini, aku miris memikirkan apa yang akan aku katakan, tapi ia tahu semua yang melintas dipikiranku , bahkan aku yakin ia juga bisa membaca perubahan raut mukaku itu yang membuatnya tertawa sebentar sebelum kemudian kembali bersenandung merdu
“anging mamiri kupasang…”
“ehem…” aku berdehem ragu
“nitujui tongtongana…” tidak memperdulikanku.
“apa yang bisa aku lakukan untukmu?” akhirnya mulutku dapat melepaskan kalimat itu.
Tawanya seketika pecah berderai membuatku tersinggung, tentu saja masa niat baikku ditertawakan sedemikian rupa aku tidak terima apanya yang lucu coba? Kulipat mukaku dan memajukan bibirku beberapa senti tanda aku protes mendengar tawanya. Beberapa detik kemudian ia berhenti
“jangan marah nona, biarkan aku tertawa sebentar saja kemudian ku jelaskan sabab musababnya” tertawa lagi
“tidak, aku tidak suka, aku bukan badut dan rasanya tidak ada yang lucu.” Masih merenggut
“oh ya, tentu–tentu saja kau bukan badut nona, tapi memang ada yang lucu, sekarang biar aku yang bertanya, apa yang bisa kau lakukan untukku mahasiswa? Bukankah kalian sangat sibuk mencerca para penguasa? Mempertanyakan kebijakan yang ada, malah justru seringkali ulah kalian membuat wajahku semakin lebam oleh luka, api disana sini, macet, huru-hara. Seharusnya mereka yang menyebut dirinya mahasiswa itu harus tahu rasanya menjadi aku yang menggelinjang geli setiap kali kaki ribuan mahasiswa menjejak tubuhku, mengatasnamakan rakyat kalian leluasa melaknat, aku hanya tertawa bagaimana tidak baru menyandang titel mahasiswa sudah berani membuat tubuhku porak poranda,apalagi kalau jadi penguasa? Aku pasti tidak akan dilirik walau hanya sebelah mata.”
Ia kembali tertawa, tapi pada bagian ini aku tidak terima tuduhannya pada mahasiswa yang sedemikian rupa sehingga emosiku tersulut, kujelaskan tentang tanggung jawab moral yang baru-baru ini diterangkan senior padaku, ku jelaskan tentang fungsi sosial kontrol yang menggayut di bahu kiri kananku, ku jelaskan tentang agen of change yang melekat dalam identitasku tapi ia masih tertawa dan menatapku degan pendangan iba, mengira aku hanya seorang maba yang terpengaruh oleh semua ceramah senior dalam prosesi pengkaderan yang baru beberapa hari berlalu, aku masih tidak terima ketika ia mengatakan mahasiswa sebagai pemicu huru-hara, ku jelaskan bahwa semua itu hanya ulah oknum(meskipun memang mahasiswa) yang tidak bertanggung jawab. Kami berdebat panjang gara-gara topik ini dan sampai aku turun di cendrawasih kami belum bertegur sapa, tetap pada pendirian masing-masing tanpa ada yang mau mengalah.
Makassar dari jendela pete-pete membuatku malu pada identitas kemahasiswaanku, menatap Makassar dari jendela pete-pete juga telah merenggangkan hubunganku dengannya. Sampai saat kubuat tulisan ini Makassar tidak pernah lagi menyapaku padahal aku tahu dia begitu dekat, ada di sekitarku bahkan ada di hatiku tapi ego memang sulit mengalah. Baru ketika tulisan ini dibaca orang ia datang mengetuk pintu kamarku dan bertanya “apakah kita masih berteman?” aku tidak menjawab membukakan pintu dan memperlihatkan sketsa tata kota Makassar yang ku dapat dari seorang teman dan kini menjeplak di dinding kamarku, sekedar meyakinkan aku memang mahasiswa tapi bukan pembuat huru-hara.
Kutulis untuk Makassar
Ditingkahi hujan pada 12 januari 2010
Catatan:
pete-pete: sebutan untuk angkutan umum yang ada di Makassar

1 komentar :