Laman

Label

Minggu, 21 April 2013


Aku Untuk Bangsaku!!!
(catatan dari FIM 13)
Seratus duapuluh delapan pemuda terbaik Indonesia dengan lantang mengikrarkan diri untuk melakukan perubahan, mewakafkan semua potensi demi perbaikan negeri ini. Tak ada pilihan bagiku, bagimu dan bagi kita semua selain berkontribusi. Pada akhirnya perubahan itu pasti terjadi. Maka segera tentukan dimana posisimu kelak, jadi penonton yang serak bersorak atau jadi pelaku perubahan dan mencatat sejarah dengan membuat gerakan.
Aku tak mengatakan selama ini kita diam, tapi pergerakan yang kita lakukan sudahkah berada pada arah yang benar?. Empat hari tiga malam kita diberi ruang duduk bersama, pemuda terbaik dari seluruh pelosok negeri. Sekedar untuk menemukan masalah terbesar yang tengah diderita bangsa, bukan untuk tampil dan memecahkannya seketika tapi untuk mempersiapkan diri dan membangun basis kekuatan intelektual serta moral untuk menyonsong hari depan.
Yang kemudian menjadi persoalan inti dan sama-sama kita ketahui adalah ketiadaan karakter dari masyarakat bangsa ini, barangkali itu termasuk kita. Tapi setidaknya saat ini kita sadar apa yang salah dan apa yang harus di perbaiki.
Ada banyak faktor yang membuat bangsa kita kehilangan karakternya, satu diantaranya adalah krisis budaya. Keanekaragaman budaya bangsa yang dikenal sebagai pemersatu Indonesia, sedikit demi sedikit berkurang nilai kesakralannya, di gempur habis-habisan oleh budaya barat yang bebas mengisi pelupuk mata anak bangsa sejak pagi hingga paginya lagi. Media tentu saja memegang peranan penting terhadap masuknya arus globalisasi, tidak hanya televisi melainkan juga alat elektronik lain yang kian hari menebar candu bagi para pemiliknya untuk terus menyantap suguhan informasi yang mematikan nilai-nilai ketimuran Indonesia. Tidak semuanya memang tapi sebagian besar begitu keadaannya.
Belum lagi sistem pendidikan yang sudah mulai mengacuhkan kebudayaan, entahkah pendidikan formal yang berorientasi pada kompetensi siswa didik di berbagai mata pelajaran tanpa mengimbangi dengan pemahaman yang memadai tentang budaya bangsa, maupun pendidikan non formal yang dimulai dari keluarga dan tidak berhasil melekatkan nilai kebudayaan pada anak-anak sejak usia dini. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang lebih mengapresiasi kebudayaan luar di banding dengan kebudayaan lokal.
Kalau begini  ceritanya jelas kekayaan bangsa kita berkurang dengan sendirinya, perlahan kehilangan cahaya bahkan meski tak ada kaitannya dengan pencurian budaya seperti yang digembar-gemborkan media masa. Bukan soal pengklaimannya yang harus diselesaikan, tapi ini tentang sejauh apa kita melestarikan dan membumikan kebudayaan bangsa hingga siapa-saja yang melihat bentuk kebudayaan itu akan identik dengan bangsa Indonesia, maka ketika suatu hari ada bangsa lain yang mulai klaim mengklaim, orang sudah tahu bangsa mana pemilik sejati kebudayaan tersebut. Tak usah repot dengan hak paten kalau pada akhirnya membuat kita nyaman dan merasa tak memiliki beban untuk merawat kebudayaan dan pada akhirnya kebudayaan kita malah punah dengan sendirinya tak ubah seperti ayam yang mati dilumbung padi.
Sekali lagi penulis menekankan, saya pun bukan orang yang mengerti budaya. Tapi mulai detik ini saya tahu apa yang harus dilakukan. Kalau banyak dari kita berusaha untuk melek media, maka harus ada orang-orang yang melek budaya dan mulai menularkannya pada mereka-mereka yang masih menutup mata. Saya akan memulai dengan membaca, memaksimalkan potensi yang dititipkan sang pencipta untuk lebih mengenal kebudayaan negeri sendiri, mengembalikan peradaban bangsa melalui penyadaran budaya. Untuk tanah pusaka tercinta, Indonesia.


Sapu Balkon
Hampir dua tahun balkon ini terbengkalai, tumpukan daun kering dan sampahnya yang berserakan membuat tak sedap dipandang mata. Awalnya berpikir untuk membangun yang baru dan memusnahkan yang satu ini, tapi pada akhirnya malah memutuskan untuk melakukan renovasi dan pembenahan. Tadaa... balkon kata siap disinggahi lagi, tentu saja dengan semangat menyuguhkan olah kata terbaik buat para pengunjung.
Mari bertukar sapa, mari bertukar kata, mari bertukar makna.