Laman

Label

Jumat, 18 Maret 2011

Bocah dan Kenangan

"menurutlah padaku...!!!"
lagi-lagi suara dalam kepalaku memaksaku untuk patuh, tapi tidak aku lebih baik pura-pura tak mendengarnya.
"ayolah bukankah kau selalu membenci lelaki itu?"
"diam aku takbutuh pendapaatmu."
lebih keras aku mencoba mengabaikannya dengan meraih cangkir teh diatas meja.
"hei... ini bukan tentangku, tapi tentang kita.ingat!"
"tidak!!! anggaplah aku lupa"
"gadis bodoh"
"apa pedulimu?"
kali ini aku coba mengalihkan perhatian dengan mulai membaca kembali surat yang datang pagi ini.
tanggal 1 besok adalah hari ulang tahun ibumu, aku akan datang dan tentu saja berharap bisa bertemu denganmu. kau boleh memilih untuk datang menemuiku atau tidak, dan saat kau datang aku akan segera tahu bahwa kau telah memaafkanku
sekali lagi aku mulai berpikir, setidaknya aku telah melakukan yang terbaik dengan tidak memperlihatkan surat ini pada mama. tapi permintaannya untuk bertemu dan tentang pilihan itu sungguh membuatku ragu.
Suara dalam kepalaku terus meminta agar aku tidak pernah sekali-kali menemuinya,bahkan ia menyuruhku membakar surat ini sebelum aku sempat membukanya,
dan aku mencoba mengingat sejak kapan aku menjadi seorang pendendam?
barangkali sejak rumah bercat biru selalu hadir dimimpiku, atau sejak hujan deras disatu senja 15 tahun yang lalu, yang pasti aku tak pernah tahu semua tentangnya membuat luka yang begitu dalam, walaupun aku masih berharap ini bukan dendam. padanya atau pada lelaki manapun yang akan ku kenali kemudian.
sebenarnya aku merasa telah mengikat semua pada sebuah kotak hitam di suatu tempat yang tak terjangkau oleh waktu, tapi air mata seorang bocah ternyata disimpan oleh para peri di dunia yang begitu sunyi, membentuk suatu tarian dengan irama sendu dan mengembalikannya pada satu hari yang kelabu.
Dan hari ini aku merasa menjadi bocah itu kembali, dengan rambut ikal berkuncir kuda merengek pada seorang wanita renta untuk tidak mengijinkanku pergi bersamanya... mendekap boneka panda yang lusuh dan kumal oleh penantian.
"aku masih bisa merasakan ketakutanmu bocah..."
suara itu kembali terdengar
"arrggh enyah, aku tak mau jadi pecundang yang terus tenggelam dalam kenangan"
"coba saja kalau bisa!!!"
kali ini dia benar-benar diam dan kini aku yang mulai menggigil merasakan kebenaran dari apa yang ia katakan. mencoba untuk tidak menangis, karena itu sia-sia saja. dia tetap akan datang besok dan pilihannya untukku hanya menemuinya atau tidak.
sederhana sekali.

"happy b'day ma,"
tepat pukul 00.00 aku menyusup masuk kamar mama dan mencium keningnya, mendadak jadi insomnia nunggu besok, kuputuskan untuk solat dan tilawah sekedar menenangkan hati menghabiskan malam ini. Dan esok biarlah terjadi.
Menjelang jam 10 pagi aku bersiap untuk pergi, kali ini aku berbohong pada mama kemana hendak pergi dan itu yang memberatkanku, dia tetap mendo'akan kepergianku juga.
Tiga langkah menuju pintu ingatan tentang sore itu menerobos keluar dari kepalaku dan mendadak terputar didepan pintu, seperti menyaksikan film dokumenter yang telah begitu tua. Duh kalau saja kau lihat saat bocah itu menangis dan meminta untuk tetap tinggal, dan tentang rumah bercat biru yang mengurungnya seperti tawanan, boneka pandanya yang kian kumal tak hanya oleh penantian tapi oleh aimata dan kekecawaan. semua itu menusuk ulu hatiku, dan membuatku tak berani mnyentuh
gagang pintu. lama aku mematung di sana, bergeming saat mama mengusik kediamanku sampai terasa lumpuh sekujur tubuhku dan aku menyerah.
tak pernah bisa melewati batas itu, tak pernah benar menemui lelaki itu dan yang tersisa dari semua hanya senyum bahagia dari suara yang masih sering muncul dikepalaku...
"haya aku yang benar mengenalmu, kau tahu itu bukan."
kata-kata terakhir yang kudengar sebelum segalanya mulai berputar.


13.09
19.3.10
ngikutin saran someone, menulis dikejar billing... asyik juga ternyata.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar