mencarimu kesegala penjuru
hingga hilang arah yang dituju
lantas kau mengagetkanku serupa hantu
memburu, dalam tidur terjagaku...
sekali lagi aku hanya ingin melihatmu
dalam kostum lucu berwarna ungu...
biru... abu-abu... atau apapun itu,
asal tidak merah jambu!!!
sekali lagi aku hanya ingin bertemu
untuk memastikan gurat mimpimu masih seperti yang dulu
lantas kita kembali mengingat masa itu
ketika rintik hujan tak terasa kelabu
mencarimu kesegala penjuru
hingga hilang arah yang dituju
lantas kau mengagetkanku serupa hantu
memburu, dalam tidur terjagaku...
dan kini aku melihatmu
dalam kostum yang sama sekali tidak lucu
merah jambu!!!
untuk bertemu dan menghakimiku
sekali lagi kau menyalahkanku lugu!!! dan dungu!!!
sungguh aku hanya...
tidak tahu
Minggu, 22 Mei 2011
kepada pemahat pelangi
...
mengaduh dengan syair paling gaduh
mencuri iba sang pemahat pelangi saban pagi
agar memberiku sekeping hati dari segelas air suci di telaga sunyi
...dengan semburat jingga yang jumawa
..sebotol tinta air mata para syuhada
.dan selembar kanvas permohonan dari setiap mimpi yang terabaikan
mengaduh dengan syair paling gaduh
mencuri iba sang pemahat pelangi saban pagi
mengaduh dengan syair paling gaduh
mencuri iba sang pemahat pelangi saban pagi
agar memberiku sekeping hati dari segelas air suci di telaga sunyi
...dengan semburat jingga yang jumawa
..sebotol tinta air mata para syuhada
.dan selembar kanvas permohonan dari setiap mimpi yang terabaikan
mengaduh dengan syair paling gaduh
mencuri iba sang pemahat pelangi saban pagi
agar hati ini selalu menemukan arah kembali
Jumat, 18 Maret 2011
Bocah dan Kenangan
"menurutlah padaku...!!!"
lagi-lagi suara dalam kepalaku memaksaku untuk patuh, tapi tidak aku lebih baik pura-pura tak mendengarnya.
"ayolah bukankah kau selalu membenci lelaki itu?"
"diam aku takbutuh pendapaatmu."
lebih keras aku mencoba mengabaikannya dengan meraih cangkir teh diatas meja.
"hei... ini bukan tentangku, tapi tentang kita.ingat!"
"tidak!!! anggaplah aku lupa"
"gadis bodoh"
"apa pedulimu?"
kali ini aku coba mengalihkan perhatian dengan mulai membaca kembali surat yang datang pagi ini.
tanggal 1 besok adalah hari ulang tahun ibumu, aku akan datang dan tentu saja berharap bisa bertemu denganmu. kau boleh memilih untuk datang menemuiku atau tidak, dan saat kau datang aku akan segera tahu bahwa kau telah memaafkanku
sekali lagi aku mulai berpikir, setidaknya aku telah melakukan yang terbaik dengan tidak memperlihatkan surat ini pada mama. tapi permintaannya untuk bertemu dan tentang pilihan itu sungguh membuatku ragu.
Suara dalam kepalaku terus meminta agar aku tidak pernah sekali-kali menemuinya,bahkan ia menyuruhku membakar surat ini sebelum aku sempat membukanya,
dan aku mencoba mengingat sejak kapan aku menjadi seorang pendendam?
barangkali sejak rumah bercat biru selalu hadir dimimpiku, atau sejak hujan deras disatu senja 15 tahun yang lalu, yang pasti aku tak pernah tahu semua tentangnya membuat luka yang begitu dalam, walaupun aku masih berharap ini bukan dendam. padanya atau pada lelaki manapun yang akan ku kenali kemudian.
sebenarnya aku merasa telah mengikat semua pada sebuah kotak hitam di suatu tempat yang tak terjangkau oleh waktu, tapi air mata seorang bocah ternyata disimpan oleh para peri di dunia yang begitu sunyi, membentuk suatu tarian dengan irama sendu dan mengembalikannya pada satu hari yang kelabu.
Dan hari ini aku merasa menjadi bocah itu kembali, dengan rambut ikal berkuncir kuda merengek pada seorang wanita renta untuk tidak mengijinkanku pergi bersamanya... mendekap boneka panda yang lusuh dan kumal oleh penantian.
"aku masih bisa merasakan ketakutanmu bocah..."
suara itu kembali terdengar
"arrggh enyah, aku tak mau jadi pecundang yang terus tenggelam dalam kenangan"
"coba saja kalau bisa!!!"
kali ini dia benar-benar diam dan kini aku yang mulai menggigil merasakan kebenaran dari apa yang ia katakan. mencoba untuk tidak menangis, karena itu sia-sia saja. dia tetap akan datang besok dan pilihannya untukku hanya menemuinya atau tidak.
sederhana sekali.
"happy b'day ma,"
tepat pukul 00.00 aku menyusup masuk kamar mama dan mencium keningnya, mendadak jadi insomnia nunggu besok, kuputuskan untuk solat dan tilawah sekedar menenangkan hati menghabiskan malam ini. Dan esok biarlah terjadi.
Menjelang jam 10 pagi aku bersiap untuk pergi, kali ini aku berbohong pada mama kemana hendak pergi dan itu yang memberatkanku, dia tetap mendo'akan kepergianku juga.
Tiga langkah menuju pintu ingatan tentang sore itu menerobos keluar dari kepalaku dan mendadak terputar didepan pintu, seperti menyaksikan film dokumenter yang telah begitu tua. Duh kalau saja kau lihat saat bocah itu menangis dan meminta untuk tetap tinggal, dan tentang rumah bercat biru yang mengurungnya seperti tawanan, boneka pandanya yang kian kumal tak hanya oleh penantian tapi oleh aimata dan kekecawaan. semua itu menusuk ulu hatiku, dan membuatku tak berani mnyentuh
gagang pintu. lama aku mematung di sana, bergeming saat mama mengusik kediamanku sampai terasa lumpuh sekujur tubuhku dan aku menyerah.
tak pernah bisa melewati batas itu, tak pernah benar menemui lelaki itu dan yang tersisa dari semua hanya senyum bahagia dari suara yang masih sering muncul dikepalaku...
"haya aku yang benar mengenalmu, kau tahu itu bukan."
kata-kata terakhir yang kudengar sebelum segalanya mulai berputar.
13.09
19.3.10
ngikutin saran someone, menulis dikejar billing... asyik juga ternyata.
lagi-lagi suara dalam kepalaku memaksaku untuk patuh, tapi tidak aku lebih baik pura-pura tak mendengarnya.
"ayolah bukankah kau selalu membenci lelaki itu?"
"diam aku takbutuh pendapaatmu."
lebih keras aku mencoba mengabaikannya dengan meraih cangkir teh diatas meja.
"hei... ini bukan tentangku, tapi tentang kita.ingat!"
"tidak!!! anggaplah aku lupa"
"gadis bodoh"
"apa pedulimu?"
kali ini aku coba mengalihkan perhatian dengan mulai membaca kembali surat yang datang pagi ini.
tanggal 1 besok adalah hari ulang tahun ibumu, aku akan datang dan tentu saja berharap bisa bertemu denganmu. kau boleh memilih untuk datang menemuiku atau tidak, dan saat kau datang aku akan segera tahu bahwa kau telah memaafkanku
sekali lagi aku mulai berpikir, setidaknya aku telah melakukan yang terbaik dengan tidak memperlihatkan surat ini pada mama. tapi permintaannya untuk bertemu dan tentang pilihan itu sungguh membuatku ragu.
Suara dalam kepalaku terus meminta agar aku tidak pernah sekali-kali menemuinya,bahkan ia menyuruhku membakar surat ini sebelum aku sempat membukanya,
dan aku mencoba mengingat sejak kapan aku menjadi seorang pendendam?
barangkali sejak rumah bercat biru selalu hadir dimimpiku, atau sejak hujan deras disatu senja 15 tahun yang lalu, yang pasti aku tak pernah tahu semua tentangnya membuat luka yang begitu dalam, walaupun aku masih berharap ini bukan dendam. padanya atau pada lelaki manapun yang akan ku kenali kemudian.
sebenarnya aku merasa telah mengikat semua pada sebuah kotak hitam di suatu tempat yang tak terjangkau oleh waktu, tapi air mata seorang bocah ternyata disimpan oleh para peri di dunia yang begitu sunyi, membentuk suatu tarian dengan irama sendu dan mengembalikannya pada satu hari yang kelabu.
Dan hari ini aku merasa menjadi bocah itu kembali, dengan rambut ikal berkuncir kuda merengek pada seorang wanita renta untuk tidak mengijinkanku pergi bersamanya... mendekap boneka panda yang lusuh dan kumal oleh penantian.
"aku masih bisa merasakan ketakutanmu bocah..."
suara itu kembali terdengar
"arrggh enyah, aku tak mau jadi pecundang yang terus tenggelam dalam kenangan"
"coba saja kalau bisa!!!"
kali ini dia benar-benar diam dan kini aku yang mulai menggigil merasakan kebenaran dari apa yang ia katakan. mencoba untuk tidak menangis, karena itu sia-sia saja. dia tetap akan datang besok dan pilihannya untukku hanya menemuinya atau tidak.
sederhana sekali.
"happy b'day ma,"
tepat pukul 00.00 aku menyusup masuk kamar mama dan mencium keningnya, mendadak jadi insomnia nunggu besok, kuputuskan untuk solat dan tilawah sekedar menenangkan hati menghabiskan malam ini. Dan esok biarlah terjadi.
Menjelang jam 10 pagi aku bersiap untuk pergi, kali ini aku berbohong pada mama kemana hendak pergi dan itu yang memberatkanku, dia tetap mendo'akan kepergianku juga.
Tiga langkah menuju pintu ingatan tentang sore itu menerobos keluar dari kepalaku dan mendadak terputar didepan pintu, seperti menyaksikan film dokumenter yang telah begitu tua. Duh kalau saja kau lihat saat bocah itu menangis dan meminta untuk tetap tinggal, dan tentang rumah bercat biru yang mengurungnya seperti tawanan, boneka pandanya yang kian kumal tak hanya oleh penantian tapi oleh aimata dan kekecawaan. semua itu menusuk ulu hatiku, dan membuatku tak berani mnyentuh
gagang pintu. lama aku mematung di sana, bergeming saat mama mengusik kediamanku sampai terasa lumpuh sekujur tubuhku dan aku menyerah.
tak pernah bisa melewati batas itu, tak pernah benar menemui lelaki itu dan yang tersisa dari semua hanya senyum bahagia dari suara yang masih sering muncul dikepalaku...
"haya aku yang benar mengenalmu, kau tahu itu bukan."
kata-kata terakhir yang kudengar sebelum segalanya mulai berputar.
13.09
19.3.10
ngikutin saran someone, menulis dikejar billing... asyik juga ternyata.
Selasa, 15 Maret 2011
LELAH
Ku tetapkan langkah ini tuk hempaskan resahku, yang serasa menyiksaku dan selalu sudutkanku...
Kian berganti datang salah yang tak terpahami kita tak pernah temukan dan akhir saling menyalahkan...
Ku lelah dengan langkah kita, yang tak pernah sama dan tak pernah bisa tuk saling mengerti
ku lelah...
Mungkin ku yang tak berarti dan aku yang tak mengerti, hanya slalu ku berharap kau temukan arti kisah ini...
Kian berganti datang salah yang tak terpahami kita tak pernah temukan dan akhir saling menyalahkan...
Ku lelah dengan langkah kita, yang tak pernah sama dan tak pernah bisa tuk saling mengerti
ku lelah...
Mungkin ku yang tak berarti dan aku yang tak mengerti, hanya slalu ku berharap kau temukan arti kisah ini...
Jumat, 11 Februari 2011
aku... kamu... dia... dan semua
…Takkan ada cinta seperti yang dulu…
Jangan salahkan aku jika lirik lagu itu terus terputar di kepalaku. Kau bahkan lebih tahu apa yang menjadi kegelisahanku. Pada malam-malam yang membuatku terdiam menyaksikan semua perubahan yang berjalan perlahan. Telah lekat semua memory kebersamaan kita hingga membuatku merasa keliru atas semua hal yang tiba-tiba menjadi kaku.
Maka pada hari ini ijinkan aku berkisah tentang rumahku, rumah yang menaungi aku, kamu, dia dan semuanya. Rumah ini tak lebih indah dari sebuah tempat di negeri seribu kupu-kupu, tak ada senandung merdu para peri dipagi hari, tidak juga senyum dan sapa hangat mereka yang kita sebut orang tua, hanya ada aku, kamu, dia dan semuanya. Tapi rumah ini cukuplah bagiku,mestinya cukup pula bagi mu, dia dan semua. cukup untuk menampung semua kisahku. Ada canda, tawa, juga air mata di dalamnya, dan yang terpenting aku merasakan genggaman tanganmu, disetiap hari-hariku, menguatkan kala ku rapuh, menopangku kala ku jatuh, menghampiri kala ku sendiri, berusaha membuatku tertawa kala ku dirundung duka. Rumahku rumah cahaya, kala aku masuk dan menutup pintunya lepas semua resah dan was-was pada dunia di luar sana.
Tak ada keraguan tentang apapun kala kita duduk bersama, ya kita! aku, kamu, dia dan semuanya saling bicara apa adanya, bukan untuk membuka semua rahasia karena bahkan satu tahun lamanya tak mebuatku tahu siapa dirimu, dirinya dan diri semuanya. Tapi kala itu kita tetap saling bicara untuk menghalau semua prasangka, karena kita berasal dari arah yang tak sama, dari pelosok yang berbeda, dan dari rahim yang juga tak ada kaitannya. Lalu kita bertemu dalam simpul mimpi-mimpi ini, menyusun kepingan puzzle untuk melihat kehidupan secara utuh, jika kamu dia dan semuanya belum tahu tentang itu, maka suatu hari kalian haruslah mencariku untuk melihat kepingan mana dari hidupmu yang ada pada diriku. Pun denganku yang ingin menyusun nya dengan sempurna.
Lalu semuanya bermula, ketika satu diantara kita memilih untuk diam, memendam dan akhirnya mendendam. Satu yang lain mulai bicara, mengusik dendam dalam kediaman yang nyaris sempurna. Satu yang lain menggumam membisikkan nama-nama yang dituduh sebagai tersangka. Satu yang lain tersedu sambil menatap album kenangan. Satu yang lain tak acuh dan menganggap semua tak tampak didepan matanya. Dan mulai detik itu, waktu yang tak pernah berpihak pada sesiapa terus bergerak, Memorak porandakan semua pola yang susah payah kita bangun bersama.
Maka pada hari ini ijinkan aku berkisah tentang Kita! Aku, kamu, dia dan semuanya.
Dan tentangku. Aku sama sepertimu bukan? Tak peduli kau menganggapku sebagai teman, sahabat, saudara, atau bukan siapa-siapa. Karena tanpa semua label itu aku telah tahu pasti bahwa aku adalah orang yang memiliki arti, terlebih ketika aku berada disampingmu, dia dan semuanya. Aku hanyalah orang biasa yang jauh dari sempurna dan seringkali membuatmu kesal, membuat dia kewalahan, dan membuat semuanya jadi runyam. Tapi dulu kalian selalu menghadiahi ku sebuah senyuman yang artinya setara dengan Never mind. Kini kekecewaanku pada kita kian menggurita, rupanya masih ada sikap-sikap tak dewasa antara kita, kalaupun ada yang terjadi hanya saling mencibir dan bisik-bisik tentang si anu yang sok dewasa.
Tak bisakah kita lupakan sejenak tentang semua sengketa? Biarkan aku mengobati kerinduan pada aroma rumahku yang dulu. Bukankah selama ini aku menjelma ombak pada samudra? Patuh pada angin setia pada purnama, tanpa pernah meminta. Maka hari ini aku hanya meminta sedikit keikhlasanmu untuk duduk disampingku, bersama dia dan semuanya. Menanggalkan dan mempermalukan sang ego yang selama ini menguasai dirimu. Bahkan aku tak memintamu untuk bicara apa adanya seperti masa itu, hanya duduk bersama, diruang tamu rumah kita. Tak sadarkah kau berbulan lamanya kursi itu pilu melihatmu yang segera beranjak ketika dia tiba, juga melihat dia yang tak pernah mau singgah selama kau duduk disana. Padahal kita pernah duduk bersama di kursi pesawat, di kursi bis kota, dan di kursi kereta. Tapi sayangnya kursi tua ruang tamu tak mampu menyatukan hati kita. Mengapa semua jadi serba pura-pura?
Pagi ini aku kembali duduk menunggumu, dengan secangkir teh dan selembar Koran dipangkuanku. Namun kalian (kita tanpa aku) lewat begitu saja, mondar-mandir dihadapanku.
Rumahku masih rumah yang dulu. Tapi cahayanya meredup tertiup keegoisan kita. Lantas siapa yang mau menemaniku menyalakan kembali pelita keikhlasan itu?
3-4 januari 2011
Selasa, 25 Januari 2011
8.12.12.53
Jelaga…
Tertumpah pada darah
Merah menghitam disudut tak terjamah
Itu lukaku… pada keeping masa lalu
Luka seorang bocah pada satu arah
Tak pernah pergi
Tak pernah kembali
Jelaga…
Tertumpah pada amarah
Kelam mencekam disudut penuh dendam
Itu benci… pada episode masa ini
Benci seorang lelaki pada pengingkar janji
Tak pernah mengerti tak pernah bertepi
Jelaga…
Tertumpah pada kata
Diam dimalam temaram
Senin, 03 Januari 2011
mengapa kau diam?
Sumpahku sebuah pengakuan rembulan
Ketika ombak menari bersama gravitasi
Mengapa kau diam?
Hanya karena lagu lebih dulu dimainkan?
Hanya karena ragu lebih dulu dinyanyikan?
Hanya karena lugu lebih dulu ditanyakan?
Mengapa kau diam?
Bukankah lagu merenda imajmu?
Bukankah ragu meretas langkahmu?
mungkinkah lugu mengunci ucapmu?
Mengapa kau diam
8.12.12.45
Menatapmu datang bersama angin
Membangunkan tidur tenang keheningan
Dilanda luka dibatas cakrawala
Terbalut bias senja yang merupa
Duhai…
Adakah rembulan membaca Kristal kebekuan?
Pada hati bidadari yang tergenggam sunyi
Ini cerita kehampaan lagi
Dari lagu sendu di negeri peri
Sebuah perahu telah karam lagi
Bersama dendang alam memuja pagi
Langganan:
Postingan
(
Atom
)