Aku Untuk Bangsaku!!!
(catatan dari FIM 13)
Seratus duapuluh delapan pemuda terbaik Indonesia
dengan lantang mengikrarkan diri untuk melakukan perubahan, mewakafkan semua
potensi demi perbaikan negeri ini. Tak ada pilihan bagiku, bagimu dan bagi kita
semua selain berkontribusi. Pada akhirnya perubahan itu pasti terjadi. Maka
segera tentukan dimana posisimu kelak, jadi penonton yang serak bersorak atau
jadi pelaku perubahan dan mencatat sejarah dengan membuat gerakan.
Aku tak mengatakan selama ini kita diam, tapi
pergerakan yang kita lakukan sudahkah berada pada arah yang benar?. Empat hari tiga
malam kita diberi ruang duduk bersama, pemuda terbaik dari seluruh pelosok
negeri. Sekedar untuk menemukan masalah terbesar yang tengah diderita bangsa,
bukan untuk tampil dan memecahkannya seketika tapi untuk mempersiapkan diri dan
membangun basis kekuatan intelektual serta moral untuk menyonsong hari depan.
Yang kemudian menjadi persoalan inti dan sama-sama
kita ketahui adalah ketiadaan karakter dari masyarakat bangsa ini, barangkali
itu termasuk kita. Tapi setidaknya saat ini kita sadar apa yang salah dan apa
yang harus di perbaiki.
Ada banyak faktor yang membuat bangsa kita
kehilangan karakternya, satu diantaranya adalah krisis budaya. Keanekaragaman
budaya bangsa yang dikenal sebagai pemersatu Indonesia, sedikit demi sedikit
berkurang nilai kesakralannya, di gempur habis-habisan oleh budaya barat yang
bebas mengisi pelupuk mata anak bangsa sejak pagi hingga paginya lagi. Media
tentu saja memegang peranan penting terhadap masuknya arus globalisasi, tidak
hanya televisi melainkan juga alat elektronik lain yang kian hari menebar candu
bagi para pemiliknya untuk terus menyantap suguhan informasi yang mematikan
nilai-nilai ketimuran Indonesia. Tidak semuanya memang tapi sebagian besar
begitu keadaannya.
Belum lagi sistem pendidikan yang sudah mulai
mengacuhkan kebudayaan, entahkah pendidikan formal yang berorientasi pada
kompetensi siswa didik di berbagai mata pelajaran tanpa mengimbangi dengan
pemahaman yang memadai tentang budaya bangsa, maupun pendidikan non formal yang
dimulai dari keluarga dan tidak berhasil melekatkan nilai kebudayaan pada
anak-anak sejak usia dini. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang
lebih mengapresiasi kebudayaan luar di banding dengan kebudayaan lokal.
Kalau begini
ceritanya jelas kekayaan bangsa kita berkurang dengan sendirinya,
perlahan kehilangan cahaya bahkan meski tak ada kaitannya dengan pencurian
budaya seperti yang digembar-gemborkan media masa. Bukan soal pengklaimannya
yang harus diselesaikan, tapi ini tentang sejauh apa kita melestarikan dan
membumikan kebudayaan bangsa hingga siapa-saja yang melihat bentuk kebudayaan
itu akan identik dengan bangsa Indonesia, maka ketika suatu hari ada bangsa
lain yang mulai klaim mengklaim, orang sudah tahu bangsa mana pemilik sejati
kebudayaan tersebut. Tak usah repot dengan hak paten kalau pada akhirnya
membuat kita nyaman dan merasa tak memiliki beban untuk merawat kebudayaan dan
pada akhirnya kebudayaan kita malah punah dengan sendirinya tak ubah seperti ayam
yang mati dilumbung padi.
Sekali lagi penulis menekankan, saya pun bukan orang
yang mengerti budaya. Tapi mulai detik ini saya tahu apa yang harus dilakukan.
Kalau banyak dari kita berusaha untuk melek media, maka harus ada orang-orang
yang melek budaya dan mulai menularkannya pada mereka-mereka yang masih menutup
mata. Saya akan memulai dengan membaca, memaksimalkan potensi yang dititipkan
sang pencipta untuk lebih mengenal kebudayaan negeri sendiri, mengembalikan
peradaban bangsa melalui penyadaran budaya. Untuk tanah pusaka tercinta,
Indonesia.